Kamis, 22 Oktober 2015

versus anjing-anjing virtual (cerpen sosial)

versus anjing-anjing virtual

Roda dua berderet rapi di depan sebuah kedai kopi. Suasana di dalam tak begitu ramai, tapi juga tak bisa dibilang sepi. Dan semoga, ada barang satu dua teman sepertenggeran yang kebetulan mampir sekedar untuk membual kesana-kemari dengan secangkir kehangatan hingga larut.

"Hai, haloo mas ganteeng.. kemana aja ga pernah keliatan, Masbro?" sapa Upi setiba aku di kedai kopi miliknya. Gadis ikal itu selalu menebar aura keceriaan ke setiap temanya sungguhpun aku hanya membalas dengan senyum dingin menyebalkan.

"Anak-anak pada kemana Pi? jam segini belum ada yang kemari?" tanyaku.

"Iya, tau nih tumben. Duduk, Om. Dibikinin kopi, ada yang baru lho," Upi mempersilakan.

"Wee.. ada yang lama nggak keliatan, sibuk nglukis, Mas Degan?" sahut Riri sang bartender berjenggot kekasih Upi. Jabat tangan erat kami menandai persaudaraan.

"Ambo adooo.. tenang sajo," jawabku sok Padang.

"Lagi menyendiri, Om? ngrampungin novel? Semangat!" Upi bertanya untung-untungan.

"Ah, enggak juga, Pi. Cuma lagi nyelesaiin baca Arus Balik-nya Pramodya aja haha, itu buku tebel mampus, Gaes," jawabku "Ri, boleh deh kopi, biasa.."

"Weits lapannam, Masbro. Kopi apa? Ada yang baru, Choy. Cold brew. Fermentasi kopi dingin, Choy. Minat?" ia memberi varian.

"Yang biasanya aja, gausah aneh-aneh," singkatku. Riri menukas,

"woo beres, pecinta tubruk sejati, kopi Toraja, gula dikit. Tapi sabar ya, Mas Degan, lagi rame ini, biasa, malem minggu, Choy ngehehehe" terkekeh penuh semangat tapi terdengar aneh.

_

Tempat ini menjadi basecamp komunitas kami. Janjian atau tidak biasanya bertemu di sini. Kecuali termasuk sekarang, apanya yang mau disangkal kalau aku duduk sendiri? Dan daripada mati gaya, sebagai pelanggan yang sudah dianggapnya saudara, aku minta pinjam laptop Upi. Gadis itu cekatan membawakan kotak lipat bercahaya tersebut.

"Baytheway, anyway, basway, ada yang mau kenalan lo, Om, dia temen kuliahku, ngefans sama karya-karyamu lo, ea.. ada yang punya penggemar baru. Mas Degan ea.. Mas Degan ea..ea..ea.." centil si Upi setelah meletakan laptop di depanku, "kebetulan mau kesini orangnya, jangan keburu pulang, Om."

"Iya, bawel," candaku nyengir. Sembari menunggu kopi pesanan, aku langsung saja menyibukan diri dengan laptop. Sudah lama tidak online begini, siapa tau di Komunitas Cat Air ada postingan yang menarik. Tapi sebelumnya, kulihat dulu pemberitahuan pada kanan atas akunku ternyata lumayan banyak juga. Begitu aku buka ternyata hanya notif tak penting dan sisanya, jempol-jempol tak kenal yang mereka sarangkan pada beberapa foto karyaku. Yah, terimakasih jempolnya, semoga ada hiburan kecil di lukisan yang sebenarnya tak seberapa itu. Sedang pada notif pertemaman ada beberapa permintaan. Wew, di antara orang tak jelas itu sukurlah kalau ada seorang wanita muslimah. Lumayan kece juga, tapi.. dia terlalu narsis. Orang sepertiku bakalan batal suka. Jauh lebih tetarik dengan satu notif berita yang sempat teracuhkan sebelunya. Sebentar. Begitu kutengok kembali, tak diragukan kalau notif itu cukup aneh hingga membuat dahiku mengernyit. Dan benar, adalah sebuah grup diskusi yang sudah lama tak aku tongkrongi. Rupanya mereka mengajaku diskusi kembali dengan menyenggol nama akunku pada sebuah kolom komentar. Isu apakah gerangan? Gila! Lama tak menampakan diri rupanya aku sudah melewatkan satu pesta seru seheboh 300 jempol dengan kolom komentar yang tembus hingga angka di atas 500!  Mencengangkan! Usut punya usut, ternyata mereka sedang membahas sebuah diskursus kontroversial negri ini yang cukup menguras daya pikir berikut segenap emosi. Terang saja! Hari ini akhir bulan September.

_

Kubacai komentar-komentar sebelumnya, amat panjang ternyata. Hmm.. debatnya dari dulu masih berkutat seputar itu-itu saja. Membosankan! Yang kontra menuduh komunis itu atheis dan seperti biasa, para kamerad menangkis dengan postulat yang lagi-lagi bisa ditebak, bahwa komunis adalah ideologi politik yang menjunjung azas egaliter dalam bidang sosial, ekonomi bla.. bla.. bla.. dan tak ada sangkut-pautnya dengan theologi. Lanjut kesal para kamerad (sapaan sesama komunis) menyerang balik kubu seberang dengan olok-olok generasi hasil doktrin orde baru. Beberapa literatur dunia maya mereka tautkan. Kelompok lawan debat tak kalah ngotot membuktikan sisi kelam lintasan sejarah PKI yang ditakdirkan untuk selalu konsisten dengan tragedi. Testimoni dan argumen-argumen yang terkesan berbobot mereka sarangkankan. Para kamerad lagi-lagi berkelit dengan argumen yang tak kalah kuat. Seolah kurang menohok, golongan kontra memberi premis bahwa pancasila menolak komumis. Pun dengan isu paling hangat mereka lesakkan; "waspada komunisme gaya baru". Sentimen anti-komunis yang terakhir dibodoh-bodohkan. Para kamerad membuktikan bahwa premis-premis tersebut mengandung sejumlah cacat. NASAKOM keluar, diktum marxisme yang dianggap sejalan dengan pancasila mereka koarkan. Nilai-nilai komunis mereka ajarkan. Kapan ada pancasila anti komunis? Demikian jawab seorang kamerad. Diskusi intelektual yang keras semakin mematikan. Watak borjuasi mereka telanjangi. Seolah kamerad-kamerad itu mau seluruh orang di negri ini melek sejarah berikut apa itu komunisme yang sebenarnya. Diskusi semakin seru ketika kontroversi G30S dikupas dari kaca mata gerakan kiri. Komunis makin berapi-api. Hingga akhirnya, atmosfir mengeruh ditandai oleh umpatan kata-kata tak pantas yang keluar dari kedua kubu. Sejauh ini aku masih tak bergeming meski sudah dicolek nama akunku bersama beberapa sejawat lama dunia maya yang samar identitasnya. Maklum kalau tak mau jadi target operasi, besar kemungkinan badan intelegen negara memantau sejauh mana dinamika grup panas tersebut. Aku memilih bisu. Satu helaan nafas panjang kulepaskan sebelum memghusap muka dengan kedua telapak tangan.

_

Pada kolom komentar paling baru, sepertinya kelompok anti-komunis sudah kehabisan peluru. Para kamerad mengambil dominasi. Kapitalisme telak jadi bulan-bulanan. Dicemooh dan dinajis-najiskan. Sedikit saja argumen pembela yang muncul diganyang seketika, bungkam tak berkutik bagaikan sebatang kayu lapuk yang tenggelam ke dasar lautan pasir. Komunis menang. Ramai sekali. Ini baru yang namanya pesta. Selamat hai kamerad!!

_

Aku menghela nafas. Kutengeok kabar terbaru kopi tubruk pesanan apakah sudah diseduh atau belum, sebelum menyimak kembali debat kusir di jejaring sosial ini.

"Sebentar, Mas Degan, masih antri Choy, sabar ya hehe," jawab Riri menanggapi pertanyaanku.

Tiba-tiba satu notifikasi baru muncul begitu perhatianku hanyut kembali. Aku klik tanda bumi merah menyala tersebut. Wah wah wah.. tak kusangka juntrunganya sedemikian naif! Ini berbahaya namanya, bagaimana bisa teman-teman kamerad itu melalukan propaganda kopi darat untuk membahas langkah gerakan kiri yang lebih konkrit. Mengetahui hal tersebut jemariku gatal untuk tidak turun tangan. Keningku gerah. Entah mengapa perasaan dosa menghantu apabila aku diam saja.

_

Tanpa intro, kuberi mereka propaganda bahwa menghidupkan kembali "hantu komunis"  adalah katakanlah sia-sia kalau tidak dikatakan konyol. Panjang lebar kunasehatkan agar tidak gegabah mengambil langkah. Mengadakan pertemuan itu boleh saja sejauh untuk berdiskusi sejarah dan mendapatkan teman baru. Tapi, perkara gagasan proposal pencabutan Tap-MPR pelarangan marxis-lenin sebagaimana yang mereka canangkan itu jelas kubantah. Tak semudah membalikan telapak tangan, kataku. Bodoh namanya kalau saja masih nekad. Rentetan argumen sebijak mungkin kujejalkan pada satu kolom komentar. Aku bernafas lega. Semoga saja mereka mengerti apa maksudku.

_

Satu pemberitahuan baru mengada. Entah kenapa aku menjadi gugup. Jantungku berebar tidak karuan. Kelenjar adrenal melepas hormon ke dalam darah. Perasaan kalut membuncah. Ternyata adalah firasat buruk. Dan benar, balasan dari seorang kamerad tak seperti apa yang aku harapkan. Disusul kamerad lain yang mengutuki kolom komentarku. Seribu laknat keluar. Bendera perang mereka kibarkan, semula satu, dua, kemudian semakin banyak yang menyerangku. Bagus! Notifikasiku jebol! Debat memasuki fase baru yang tadinya melawan kapitalisme dan antek-anteknya, kini putar arah melawan seorang yang mereka anggap musuh dalam selimut, tak lain tak bukan adalah aku sendiri! Sial tingkat dewa! Aku naik pitam. Begini sumpeknya dituduh macam-macam. Benar, setau mereka dulu aku di pihak komunis, mengapa sekarang tak sepemikiran, itulah persepsi mereka yang lantas enteng mengecap aku dengan istilah-istilah menyedihkan era revolusi macam komprador, reaksioner, dan atau tortkys (pengikut Leon Tortkys penghianat komunis Soviet). Yang benar saja?! mereka pikir ini jaman orde lama?! Jelas aku lebih dari sekedar tersinggung. Kujejalkan sebuah penjelasan gamblang yang sangat logis pada sebuah kolom komentar. Aarrgghh.. sebenarnya aku tak suka mengeluarkan argumen teramat serius di dunia maya seperti ini, tapi kali ini apa boleh buat? ibarat Son Go Ku, mungkin aku sudah sampai super saiya 3, tiga puluh sekalian bahkan! Apanya yang tidak? Mereka sudah merusak hariku. Niatnya cari angin di jejaring sosial tapi kenapa malah begini pelik jadinya? Dasar para kamerad naas pada hari yang panas! Dan semakin panas ketika komentar terbaruku lagi-lagi mereka telan. Mereka berlawan. Kubantai kembali persendian argumen mereka yang menurutku masih lemah. Karakter  pejantan kami keluar sudah. Akupun menetak sengit; jangan ada diskusi komunis di forum ini! Belum khatam buku kapital 1,2,3 saja sudah berani bicara macam komunis! memalukan kaum komunis saja! begitu inti umpatanku kesal. Di mataku, mereka tak lebih dari orang-orang yang tidak kritis menerima informasi dari buku dan media. Atau gumpalan lemak sekian puluh kilogram yang hobinya bersenggama dengan literatur abad-19, bahkan aku berani bertaruh, bahwa mereka tak pernah ikut diskusi di dunia nyata. Maka bersiaplah, bagaikan vampir yang kejengkelanya sudah muntab berjam-jam lewat, aku hendak menakar isi kepala masing-masing mereka. Pisau filsafat yang sedari tadi tak bisa diam akhirnya kutarik juga dari sarung persemayaman untuk menantang anjing-anjing virtual itu perihal pemahaman terhadap ideologi yang sejauh ini mereka anggap benar, dan apa relevansinya terhadap jaman di mana kita bernafas. Aku seorang netral. Diskusi kugiring masuk frekuensi filsafat terlebih dahulu sebelum beralih ke dalam konteks sejarah kemudian. Pelik-pelik menjengkelkan dibahas semua mulai dari material-dialektis, DAS KAPITAL, sosialisme ilmiah sampai manifesto partai komunis sekalian tak segan. Tulisan-tulisan kami panjang lebar seperti mau bikin tesis saja. Notifikasiku jelas jebol. Mereka masuk debat jebakanku. Setelah memaparkan argumen terakhir, aku merasa menang dengan menunjukan kontradiksi di dalam tubuh marxisme yang jauh hari sudah dikuliti oleh pemikir kontemporer dunia. Dengan begitu kiranya berhasil melakukan chek-mate. Kali ini mereka bungkam mati gaya kehabisan akal. Tak ada lagi yang berkoar, bersiulpun kurasa tidak. Satu hembuskan nafas panjang boleh kuhela, disusul senyum kemenangan tersungging di kedua kutub bibir.

_

Ternyata rasa puas barusan tak bertahan lama. Sungguh perdebatan yang terlampau alot. Kamerad-kamerad itu masih juga menggonggong. Apa kiranya peluruku tak cukup tajam menembus jantungnya? Atau mungkin jauh dari sasaran dan hanya lewat begitu saja melukai angin? Membuat semakin frustasi saja. Dari kawanan yang sebagian besar berhasil kubungkam moncongnya, ada beberapa ekor yang masih berdiri. Sial! Hampir semua teori marxis-lenin mereka keluarkan dengan lain cara. Kubuktikan kalau teori tersebut sudah usang bla.. bla.. bla.. tapi tetap saja, mereka sukses berkelindan lewat jalan memutar untuk menyerang. Kepala semakin panas, apalagi hati tak kurang-kurangnya. Betapa tidak? Yang lain kembali ikut-ikutan memberondong dengan kalimat-kalimat tak pantas. Bagai perompak buas menemukan sasaran di lautan lepas, aku jadi bulan-bulanan sampai menjadi ampas, kata-kata kasar keluar menghempas. Ditolol-tololkan tanpa pandang batas.

_

Aargghh...

_

"Kopiku udah belum Ri?" teriaku tersungut-sungut. Kusulut sebatang rokok supaya tidak makin kalut.

"Yaaa.. betar mas Degan, lagi dibikin Choy," jawab Riri sembari meracik secangkir kopi. Kulirik bartender itu ternyata sibuk juga.

"Bentar, Om. kopimu sudah dibikin, sabar ya Mas ganteng," tambah Upi sembari lewat cengar-cengir mengantar orak-arik telur ke meja belakang. Kembali ke jejaring sosial, terlanjur bawa perasaan begini jelas aku ladeni. Ini adalah saat di mana kami mempertahankan harga diri sebagai laki-laki.

"Aarrgghh.." teriaku.

"Hoi kenapa Om?" tanya upi.

"Ga apa-apa Pi"

"Beneran Om?"

"Mas Degan keliatanya setres itu Dek haha" kata Riri kepada kekasihnya.

_

Lanjut ke layar monitor, serangan selanjutnya nyaris membuatku lumpuh. Spektrum debat mengerucut tajam ke ranah pribadi. Tak tanggung-tanggung, mereka mulai kurangajar menyinggung lukisanku yang orisinal. Aku dikenai label pelukis kaum borjuis banal yang buta terhadap keadaan kelas kaum marjinal. Pembela kaum kapital, buruk sedikit kaum feodal. Steril dari pesan moral juga tidak berkoar tentang realitas sosial. Seperti ayam tak punya taji saja katanya. Bagus! Beraninya mereka masuk wilayah dimana aku mudah saja mengibaskan argumen siapapun jika mau. Mereka mengira, kalau aku tak paham tentang apa itu realisme-sosialnya haluan kiri. Dan pembahasan yang terakhir telah membuat perutku mual. Zona sakralku diganggu orang-orang hal mana sebenarnya tak mengerti apapun yang mereka bicarakan. Terkutuk!

_

Bersiap-siaplah, hai kamerad! Kini sudah masuk diktum seni lukis dalam hubunganya dengan konteks sosial. Jemariku mengetik serentetan argumen berat yang ditutup dengan sejumlah makian kasar. Tak sudi aku disepelekan para anjing jahanam. Namun.. seolah pesawat tempur yang menukik, begitu hendak menekan tombol "enter" tiba-tiba aku merasa perlu sejenak menarik diri untuk menahan emosi. Sekian menit aku berimaji, merubah sudut pandang untuk melihat dari perspektif lain tentang diri, dan begitu kumenemukan  kemasyalahatanya, segera menyadari bahwa aku seperti seorang tolol yang terperangkap ke dalam kubangan sendiri. Betapa bodohnya meladeni orang-orang yang bersembunyi di balik akun palsunya, tak jelas tampang mukanya, tak pernah bertemu di dunia nyata. Hingga pada titik puncak permenungan, aku makin seperti orang yang menunjukan kebodohan dengan cara mengumbar seluruh pengetahuan. Kemudian bongkahan tanya yang hendak keluar dari lubang hidungku adalah, seperti inikah hasil setumpuk buku bacaan yang aku gumuli hampir setiap hari? Untuk hal-hal macam inikah guna aku belajar? Benar, adalah suatu kecongkakan autodidak yang celaka. Maafkan hamba Ya Tuhan... Sungguh! Aku hanyalah murid dari setiap orang dan jauh di atas kata pantas untuk menggurui orang. Dan aku bukanlah mulut bagi telinga anjing-anjing virtual itu. Akhirnya kuhapus komentar panjang menggurui terakhir yang belum sempat melayang.

_

Aku menurunkan ketegangan. Kukatakan saja kepada mereka untuk melupakan semua dan segera pamit pergi tanpa satupun pembelaan. Pengunduran diri dibalas makian kasar mereka yang setauku dulu adalah kawan diskusi santun. Maafkan aku hai kamerad, silahkan menghakimi aku sebagai pecundang, pengecut dan lain sepuasmu. Demikian salam perpisahan sahabat dunia maya. Tak mengapa, seluka apapun relung hati ini tersayat, sebisa mungkin kumenangkan suhu kepala agar tetap dingin.

_

"Sial.." desisku sembari menyeka muka dengan kedua telapak tangan. Pada saat yang sama, Upi datang menyuguhkan secangkir kopi.

"Kenapa sih, Ombro, dari tadi uring-uringan, nih kopinya. Toraja tubruk sedikit gula," kata Upi dengan nada meneduhkan.

Sruuptt..aah.. nikmatnya rasa kopi asli Indonesia yang satu ini. Upi duduk di sampingku. Sedianya penasaran dengan apa yang aku gumuli semenjak datang tadi.

"Parah Pi," kataku, "jaman sekarang, masih ada saja intelektual kolot. Masa orang-orang nggak jelas itu mau menghidupkan komunis lagi. Nih, ya, jaman udah 'posmo' begini, komunis itu ibarat hewan purba di tengah metropolitan, kalau di Indonesia mungkin kayak ikan disuruh hidup di darat. Ya jelas nggak bisa lah, habitatnya aja sudah berubah, ekosistemnya aja udah nggak ngedukung. Kalaupun bisa, tentu banyak yang harus dikorbankan. Sekarang siapa mau menahan sakit perubahan strutur sosial segede itu? ya ampun Tuhan, beri hamba kesabaran," curhatku pada pemilik kedai itu.

"Diskusi komunis di fb Om? Hahahah. Ngopi dulu, Om. Daripada gila ntar," Upi terkikik cempreng sembari meninggalkanku seorang sendiri. Astaga, diajak curhat beneran malah pergi. Lagian para pengunjung sontak melengos ke arahku seraya penasaran mendengar kata komunis. Aku jadi sungkan. Pura-puta cuek saja lah. Sruput kopi.

_

Semenit berselang, dua pengunjung wanita muslimah datang. Anggun dan bersahaja dengan hijab yang menyejukan hati. Aku melirik sebatas memastikan bahwa wajahnya tak asing.

"Hei, halo ciiint..duuh cantik-cantiknya.." sambut Upi heboh sembari cepika-cepiki ,"nih, Om. Temenku yang mau kenalan, cie cie penggemar barunya Mas Degan,  gausah sungkan say, Mas Degan orangnya nyantai kok, panggil aja Om, gapapaa.. hahaha," cerocosya ganjen.

"Hai Mas, saya yang nge-add fb njenengan kemaren, lukisan Mas bagus-bagus saya suka, boleh saya belajar?" katanya lembut meneduhkan.

"Ah, terimakasih. Dengan rendah hati, mari bejajar bersama," jawabku sok biasa-biasa saja.

[END]

versus anjing-anjing virtual